Hati-Hati Dideportasi & Didenda Ratusan Juta Karena Terjerat Haji Ilegal!

Hati-Hati Dideportasi & Didenda Ratusan Juta Karena Terjerat Haji Ilegal!

 
Gambar 1.1.Pastikan visa yang digunakan untuk berhaji adalah visa haji
 
Haji menjadi ibadah yang amat ditunggu-tunggu setiap umat Islam. Bahkan, kini di Indonesia, untuk berhaji, Sahabat Ventour perlu menunggu dengan antrian haji hingga 20-40 tahun, atau bahkan lebih.
 
Tak jarang banyak yang terjerat kasus haji ilegal dengan cara menyalahgunakan visa haji, agar bisa berangkat haji lebih cepat. Biasanya, para jamaah haji ilegal ini memasuki Arab Saudi dengan visa non haji, seperti visa ziarah, visa amil (bekerja), dan visa umroh.
Cara ilegal untuk berhaji salah satunya dengan menjadi pekerja musiman di Arab Saudi, misalnya menjadi pekerja katering. Lalu ia memasuki Arab Saudi dengan visa amil (bekerja).
 
Cara lain yang biasanya dilakukan jamaah haji ilegal adalah pergi ke Tanah Suci dengan niat umroh beberapa pekan sebelum musim haji tiba. Setelah umroh, mereka tidak pulang ke Indonesia, tapi justru tinggal di rumah kerabat di Arab Saudi. Saat musim haji tiba, mereka menyusup untuk ikut melaksanakan haji.
 

Pada Juli 2022 lalu, tercatat 14 orang pergi haji melalui jalur ilegal dengan menggunakan visa non haji. Mereka diketahui mengantongi visa ziarah dan visa amil (bekerja).

 
Gambar 1.2.Visa yang boleh dan tidak boleh digunakan untuk berhaji
 
Lalu pada tahun 2018, sebanyak 116 WNI digerebek polisi Arab Saudi karena melakukan haji secara ilegal dan langsung dideportasi ke Indonesia. Mereka menggunakan visa amil, visa ziarah, dan visa umroh. Bahkan untuk penginapan, mereka nekat menyewa beberapa kamar dalam satu gedung melalui calo asal Bangladesh.
 
Dan pada tahun 2016, sebanyak 177 WNI ditahan oleh pihak imigrasi Filipina. Mereka diketahui menggunakan paspor Filipina untuk terbang ke Tanah Suci dan menunaikan ibadah haji. Haji jalur gelap ini terjadi dengan cara memanfaatkan kuota jamaah haji di Filipina yang tiap tahun tak terserap 100%. Sisa kuota ini dijual kepada WNI yang ingin berangkat haji secara cepat.
Untuk haji sendiri, hanya diperbolehkan menggunakan visa haji, yaitu visa haji reguler, visa haji ONH plus, dan visa haji furoda (mujamalah). Menggunakan visa non haji, seperti visa ziarah syakhsiyah (kunjungan pribadi), visa ziarah tijariyah (kunjungan bisnis), visa amil (bekerja musiman), dan visa umroh bisa dideportasi dan didenda.
 
Gambar 1.3.VHukum pidana dan denda bagi jamaah haji ilegal
 
Jika Sahabat Ventour ketahuan menggunakan visa non haji di Arab Saudi, maka bisa dikenakan sanksi pelanggaran berat sesuai undang-undang yang berlaku di Arab Saudi.
 
Dikutip dari Okaz, situs berita harian Arab Saudi, oknum travel yang membawa atau mengangkut jamaah haji ilegal terancam dipidana selama 6 bulan. Lalu setiap jamaah haji ilegal dikenakan denda sebesar 50.000 riyal (sekitar Rp 194 juta).
 
Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi juga mengungkapkan, bahwa siapapun yang masuk ke kawasan Masjidil Haram, Arafah, Muzdalifah, dan Mina tanpa izin akan didenda 10.000 riyal (sekitar Rp 38 juta).

Perlu diingat, bahwa berhaji melalui cara yang ilegal bisa menyebabkan haji menjadi tidak sah ya, Sahabat Ventour. Sejatinya, berhaji adalah untuk mereka yang istitha’ah (mampu) dalam hal fisik, mental, finansial, maupun akomodasi.

 

Share :

Snouck Hurgronje: Kisah Penyusup Belanda yang Haji ke Mekkah

Snouck Hurgronje: Kisah Penyusup Belanda yang Haji ke Mekkah

 
Gambar 1.1.Potret Christiaan Snouck Hurgronje
Tahukah, Sahabat Ventour, kalau dahulu gelar haji disematkan bukan karena penghormatan pada orang yang telah berhaji. Justru gelar haji ini diberikan karena kekhawatiran Belanda terhadap para tokoh yang kembali dari ibadah haji akan melakukan perlawanan terhadap Belanda.
 
Sejarah haji di era kolonial memang dianggap negatif oleh Belanda. Orang yang pulang seusai ibadah haji dinilai memiliki pemikiran Pan-Islamisme yang anti terhadap penjajahan. Oleh karena itu, Belanda mengirimkan seorang penyusup bernama Christiaan Snouck Hurgronje, untuk menelaah pemikiran Islam dan menciptakan strategi perlawanan terhadap Islam.
 
Kekhawatiran ini bermula saat Belanda merasa kesulitan untuk menaklukkan kesultanan Aceh pada akhir abad ke-18. Ditambah dengan membludaknya jumlah jamaah haji pada masa itu, Belanda beranggapan Islam merupakan salah satu kekuatan anti-kolonialisme di Indonesia.
Contohnya, K.H. Ahmad Dahlan yang seusai ibadah haji mendirikan Muhammadiyah, K.H. Hasyim Asyari mendirikan Nahdlatul Ulama, Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam, dan Tjokroaminoto mendirikan Sarekat Islam. Berdirinya organisasi Islam ini mengkhawatirkan Belanda, karena para haji dianggap akan menyebarkan paham anti kolonialisme karena diyakini lebih didengar oleh pribumi.
 
Akhirnya kebijakan menyematkan gelar haji pada orang yang telah melaksanakan ibadah haji diatur dalam Peraturan Pemerintah Belanda Staatsblad pada tahun 1903.
 
Belanda juga mencoba membatasi pergerakan jamaah haji dengan menetapkan biaya tambahan sebesar 110 gulden sebagai paspor haji. Jika tidak memiliki paspor haji, maka akan didenda 1000 gulden. Jamaah haji juga harus mengikuti ujian haji. Barulah jika lulus, mereka berhak mendapatkan sertifikat dan gelar haji.
 
Gambar 1.2.Suasana keberangkatan jamaah haji di era kolonial Belanda
 
Namun, cara ini tidak efektif menekan jumlah jamaah haji dan Belanda masih belum berhasil menguasai Aceh. Belanda pun memutuskan untuk mengubah strategi. Belanda akhirnya mengirim Christiaan Snouck Hurgronje, seorang orientalis yang ditugaskan meneliti jamaah haji dan memenangkan Perang Aceh dengan cara menjalin hubungan yang harmonis dengan rakyat Aceh.
 
Snouck Hurgronje dipercaya menangani bidang agama dan politik Islam. Akhirnya, pada Juli 1891, Snouck berhasil masuk ke Aceh untuk mempelajari adat-istiadat, kebudayaan, dan ajaran Islam. Untuk melancarkan misinya, Snouck pura-pura masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Abdul Ghofar. Hal tersebut dilakukan untuk menarik kepercayaan dari orang-orang Islam di Aceh.
Snouck Hurgronje meyakini, untuk menaklukkan Aceh, Belanda harus mencari rahasia kekuatan masyarakatnya, terutama yang menyangkut kehidupan sosial budayanya. Belanda juga mengubah strateginya, yaitu memisahkan Islam dengan politik. Selama berkaitan dengan ibadah, termasuk haji, Belanda memperbolehkan dan melonggarkan aturannya. Namun, jika berkaitan dengan politik Islam, Belanda akan berusaha menghancurkannya.
 
Selain berkamuflase dengan nama samaran, Snouck alias Abdul Ghofar juga menikah dengan dua putri ulama terkenal. Bahkan, ia juga disunat, shalat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menjalani aturan-aturan Islam.
 
Tak cukup sampai di situ, Snouck juga ditugaskan untuk meneliti jamaah haji dan kehidupan muslim di Mekkah. Karena ia memiliki identitas sebagai muslim, maka mudah saja ia menyusup ke Mekkah dan melakukan penelitian keagamaan selama di sana.
 
Saat tinggal di Jeddah, Snouck berkenalan dengan dua orang Indonesia, yaitu Raden Abu Bakar Jayadiningrat dan Haji Hasan Musthafa. Dari keduanya, Snouck belajar bahasa Melayu dan mulai bergaul dengan para jamaah haji asal Indonesia untuk mendapatkan informasi yang ia butuhkan.
 
Gambar 1.3.Potret C. Snouck Hurgronje di Tanah Suci Mekkah
 
Semua hasil riset Snouck itu dijadikan buku dengan judul Mekka, yang diterbitkan pada tahun 1931. Sebelumnya, pada tahun 1892, Snouck juga menulis sebuah laporan berjudul Atjeh Verslag. Laporan itu berisi temuannya selama menyamar dan beberapa cara menaklukkan Aceh berdasarkan pihak yang dihadapi.
 
Upaya penyusupan dan penelitiannya selama di Aceh dan Mekkah ini membuahkan hasil. Beberapa serangan gerilya di Aceh berhasil dipatahkan, hingga akhirnya Kesultanan Aceh takluk pada Belanda tahun 1903.
Di sisi lain, temuan dan hasil riset Snouck ini banyak membantu para peneliti tentang sejarah perjalanan haji maupun sejarah Islam di Indonesia yang masih tertutup banyak tabir.

 

Share :