Hajar Aswad, Batu Surga yang Ternyata Pernah Dicuri
Hajar Aswad merupakan batu dari surga yang diturunkan ke bumi saat Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah membangun Ka’bah. Mulanya, batu ini berwarna putih, namun karena refleksi dari dosa-dosa manusia, warnanya berubah jadi hitam.
Gambar: Rukun Hajar Aswad, Ka’bah
Bentuk Batu
Banyak yang mengira, batu lonjong berwarna hitam di dalam bingkai perak inilah yang dinamakan Hajar Aswad.
Namun, tahukah Sahabat Ventour, Hajar Aswad sesungguhnya yaitu berbentuk pecahan batu warna hitam kemerahan yang direkatkan pada batu berbentuk lonjong. Bukan keseluruhan batu yang dilindungi oleh bingkai perak.
Mulanya, batu surga ini berbentuk layaknya batu utuh. Namun, karena berbagai insiden yang menimpa selama sejarahnya, batu itu kini terpecah menjadi delapan bagian dengan ukuran yang berbeda-beda. Batu ini sempat dicuri dari Ka’bah pada tahun 930 M oleh kaum Qaramitah, salah satu kelompok Muslim Syiah di Arab Timur.
Aksi pencurian ini dipimpin oleh Abu Tahir Al-Qarmuthi dan disertai dengan pembantaian 30.000 jamaah haji yang sedang berada di Masjidil Haram. Hajar Aswad dibawa kabur oleh Abu Tahir ke masjid miliknya, Masjid Al-Dirar di Bahrain. Ternyata alasan ia mencuri batu tersebut karena ia ingin mengalihkan ibadah haji dari Masjidil Haram ke masjidnya. Innalillahi, ini termasuk ajaran sesat ya, Sahabat Ventour!
Gambar: Hajar Aswad zaman dahulu
Batu surga ini hilang dari Kabah selama 23 tahun, sebelum akhirnya dikembalikan pada tahun 953 M. Menurut sejarawan, kaum Qaramitah sempat meminta tebusan kepada Bani Abbasiyah apabila batu tersebut ingin dikembalikan. Akhirnya kaum Qaramitah mengembalikan batu tersebut dengan cara dilempar, sehingga batu ini pecah menjadi beberapa bagian.
Benarkah Ada Hajar Aswad di Turki?
Pecahan batu surga ini diisukan tersebar di Turki. Pecahan ini dipercaya dipindahkan pada masa pemerintahan Kesultanan Turki Utsmani oleh Sultan Sulaiman. Pada masa itu, Kesultanan Turki Utsmani memang menguasai wilayah Arab Saudi dan banyak menyimpan peninggalan sejarah Islam.
Pecahan yang diduga batu surga dan berada di Turki ini berjumlah enam buah. Yang pertama dipajang di mihrab Masjid Biru, satunya lagi terletak di atas pintu masuk makam Sulaiman Agung, dan empat pecahan sisanya terdapat di Masjid Sokullu Mehmet Pasa (satu di atas mihrab, satu di bawah mimbar bawah, satu lagi di atas mimbar atas, dan terakhir di pintu masuk).
Namun, keaslian pecahan batu ini masih dipertanyakan, karena belum ada bukti-bukti yang menguatkan.
Gambar: Kepingan Hajar Aswad di atas pintu masuk makam Sulaiman Agung
Keutamaan Mencium dan Mengusap Hajar Aswad
Dijuluki batu mulia dari surga, pada saat ibadah umroh maupun haji, Sahabat Ventour disyariatkan untuk mencium serta mengusapkan tangan pada Hajar Aswad.
Maqam Ibrahim Ternyata Bukan Kuburan, Inilah Sejarah dan Keutamaannya!
Banyak yang salah kaprah menganggap Maqam Ibrahim di Masjidil Haram adalah kuburan. Namun, ternyata bangunan ini adalah batu tempat berdirinya Nabi Ibrahim saat membangun dan meninggikan Ka’bah.Maqam dalam bahasa Arab artinya tempat berpijaknya dua kaki, berdiri, atau bangun.
Gambar: Maqam Ibrahimyang terletak 10-11 dari arah timur Ka’bah
Sejarah
Banyak yang meyakini, batu yang dipijak oleh Nabi Ibrahim adalah batu keramat yang diturunkan dari surga bersamaan dengan Hajar Aswad. Batu ini kemudian diambil oleh Nabi Ismail dan diberikan pada ayahnya, Nabi Ibrahim, sebagai tempat berpijak saat meninggikan Ka’bah.
Bentuk dan Letak Maqam Ibrahim
Maqam Ibrahim terletak dan berjarak 10 hingga 11 meter dari timur Ka’bah. Dilansir dari Saudi Gazette, Kepresidenan Umum untuk Urusan Dua Masjid Suci merilis foto jejak kaki Nabi Ibrahim dengan kualitas 49.000 piksel.
Gambar: Foto jarak dekat jejak kaki Nabi Ibrahim
Batu bekas jejak Nabi Ibrahim berwarna perunggu, agak kehitam-hitaman. Bentuk batunya bujur sangkar dengan panjang 40 sentimeter dan lebar serta tinggi sekitar 20 sentimeter.
Jejak kaki Nabi Ibrahim berada di tengah-tengah batu. Panjang telapak kaki pada permukaan batu adalah 27 sentimeter dan lebarnya 14 sentimeter, dengan kedalaman jejak kaki sekitar 9-10 sentimeter.
Relokasi dan Renovasi
Menurut sejarah, bentuk bangunan yang melindungi batu jejak kaki Nabi Ibrahim ini terus mengalami perubahan. Mulanya, batu ini terletak menempel di dinding Ka’bah. Bangunan tersebut membuat area tawaf menjadi semakin sempit, seiring dengan peningkatan jumlah jamaah setiap tahunnya.
Gambar: Proses tawaf mengelilingi Ka’bah
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, akhirnya batu jejak Nabi Ibrahim ini digeser mundur agar jamaah lebih leluasa saat melakukan tawaf.
Pada 1967, bangunan pelindung batu jejak Nabi Ibrahim diubah menjadi kotak kaca kristal, yang dilapisi emas dan perak. Bagian luarnya juga dilapisi kaca bening setebal 10 sentimeter yang tahan terhadap panas dan antipecah seperti saat ini.
Gambar: Maqam Ibrahimyang dilindungi dengan bangunan kaca berlapis emas dan perak
Maqam Ibrahim juga memiliki keutamaan yaitu sebagai tempat shalat sunnah setelah menunaikan tawaf dan sebelum menuju bukit Safa-Marwah. Dalam hadits riwayat Bukhari, Umar bin Khattab pernah berkata:
“Saya bertanya pada Rasulullah, “Maukah engkau jadikan batu tempat berdirinya Nabi Ibrahim sebagai tempat untuk mengerjakan shalat?”
Maka turunlah firman Allah surah Al-Baqarah ayat 125, “Dijadikanlah sebagian Maqam Ibrahim itu sebagai tempat shalat.”
Namun, saat musim haji, tentu bukan perkara mudah untuk bisa shalat sunah tepat di area ini. Area ini dijaga ketat oleh petugas karena di tempat itu sangat padat orang yang ingin melakukan shalat sunnah.
Petugas juga mengingatkan jamaah agar tidak mengusap-usap dan berdoa di Maqam Ibrahim karena dikhawatirkan mengandung penyembahan dan penghormatan yang berlebihan.
Sejarah Kelam Ka’bah Diterjang Banjir Besar, Apa Penyebabnya?
Pada 24 November 2022, tercatat banjir bandang di Kota Jeddah hingga menewaskan dua orang. Ternyata banjir bukan hanya pernah terjadi di Mekah, tapi juga pernah merendam Ka’bah di Masjidil Haram. Padahal Arab Saudi adalah daerah yang tandus dan kering, namun kenapa bisa dilanda banjir parah? Apa penyebabnya?
Yuk simak ulasannya berikut, Sahabat!
Gambar: Banjir yang merendam Ka’bah pada tahun 1941
Sejarah Banjir Menerjang Ka’bah
Sebelum diangkat menjadi nabi, banjir besar pernah melanda Ka’bah saat Nabi Muhammad berusia 35 tahun. Banjir menyebabkan dinding Ka’bah retak. Kaum Quraisy khawatir sewaktu-waktu Ka’bah bisa roboh, sehingga Ka’bah harus segera direnovasi.
Maka Ka’bah yang semula tingginya 4.5 meter dirobohkan dan diganti bangunan baru yang lebih tinggi yaitu sekitar 11 meter. Pintu Ka’bah ditinggikan dua meter agar tidak mudah dimasuki, kecuali oleh orang-orang tertentu. Pintu Ka’bah yang tadinya dua, lalu satunya ditutup hingga tersisa satu saja.
Namun, ketika akan meletakkan kembali Hajar Aswad ke tempat semula, terjadi perselisihan. Masing-masing suku mengklaim lebih berhak untuk meletakkan Hajar Aswad. Untunglah ada usul seorang kepala Bani Makhzum, yaitu Abu Umayah ibnul Mughirah al-Makhzumi, untuk mengatasi perselisihan itu.
Abu Umayah mengusulkan, yang berhak meletakkan Hajar Aswad adalah orang yang pertama kali memasuki Masjidil Haram. Ternyata yang pertama memasuki masjid adalah Nabi Muhammad. Keempat suku tersebut akhirnya setuju jika Nabi Muhammad-lah yang meletakkan Hajar Aswad, karena mereka percaya Nabi Muhammad merupakan sosok yang terpercaya.
Gambar: Ilustrasi peletakkan Hajar Aswad oleh keempat perwakilan suku di Mekah
Namun, Nabi Muhammad meminta dibentangkan sehelai kain. Lalu Hajar Aswad diletakkan di atas kain tersebut. Nabi Muhammad meminta perwakilan keempat suku untuk mengangkat masing-masing ujung kain dan meletakkan Hajar Aswad secara bersama-sama. Masya Allah ya, Sahabat! Inilah sikap kebijaksanaan dan keadilan Baginda Nabi Muhammad Saw.
Tragedi pada Masa Kekhalifahan Umar
Setelah direnovasi, ternyata banjir kembali menerjang Ka’bah saat masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Kabah kembali rusak karena komposisi Ka’bah masih berupa batu-batuan yang direkatkan oleh tanah dan lumpur. Untuk mencegah banjir yang lebih parah, Khalifah Umar bin Khattab membangun bendungan di sebagian lembah yang rawan banjir, seperti Lembah Fathimah.
Tragedi pada Masa Turki Utsmani
Namun pada masa kesultanan Turki Utsmani tahun 1630, terjadi hujan deras yang dimulai dari jam dua pagi dan bertambah dahsyat derasnya waktu Zuhur dan Asar, hingga menyebabkan banjir besar di Kota Mekah.
Banjir memasuki area Masjidil Haram hingga airnya mencapai pengikat lampur di Ka’bah. Ka’bah sisi dinding Syami roboh total, sebagian dinding sebelah Timur dan Barat pun ikut roboh. Diperkirakan korban yang meninggal akibat musibah banjir ini sebanyak 500-1000 orang. Akhirnya Ka’bah pun kembali direnovasi.
Setelah itu, banjir tidak terjadi lagi hingga tahun 1941. Tahun itu merupakan masa terburuk karena banjir merendam Ka’bah hingga ketinggian hampir setengah bangunan. Banjir ini disebabkan hujan deras yang mengguyur kota Mekah selama sepekan penuh. Air pun meluap dan membuat aktivitas di Mekah lumpuh total.
Pada musibah banjir tahun 1941 inilah, beredar sebuah foto seorang anak muda yang berenang mengelilingi Ka’bah untuk tawaf. Ternyata sosok tersebut adalah Syekh Ali Ahmad al-Iwadhi saat muda, yaitu apoteker terkemuka dari Bahrain.
Gambar: Syekh Ali Ahmad al-Iwadhi saat muda yang melakukan tawaf dengan cara berenang
Ka’bah yang terendam banjir tak mematikan semangatnya untuk beribadah, termasuk melakukan tawaf. Ia bersama saudara dan satu temannya berenang mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran.
Tawaf di kala banjir yang dilakukan Syekh Ali Ahmad ini bukan yang pertama kalinya. Salah satu sahabat nabi yang dikenal sebagai sosok yang taat, yaitu Abdullah bin Zubair, ternyata pernah tawaf sambil berenang, karena waktu itu Ka’bah dilanda banjir.
Banyak kesaksian para tokoh yang mengatakan, “Sesulit apapun kondisi untuk beribadah, Abdullah bin Zubair selalu tetap melaksanakannya. Ka’bah pernah direndam banjir, namun ia tetap melakukan tawaf dengan cara berenang.”
Untuk mengurangi risiko banjir yang semakin parah, pemerintah Arab Saudi melakukan renovasi drainase di sekitar Masjidil Haram. Hasilnya, hujan deras sempat menerjang Mekah, terutama pada musim dingin, namun tidak menimbulkan luapan air di kawasan Masjidil Haram.
Penyebab banjir di Mekah ini bukan hanya dari curah hujan yang tinggi, tapi juga karena letak geografis, struktur tanah, dan sistem drainase di Kota Mekah. Mekah berada di antara bukit dan termasuk dataran rendah yang letaknya di dalam cekungan. Struktur tanah Kota Mekah yang terdiri dari pasir dan batu-batuan juga mengakibatkan air sulit terserap.
Sangat jarang ditemukan drainase atau saluran air yang ada di Kota Mekah dan sekitarnya, sehingga mudah banjir meskipun hanya hujan sebentar. Warga Kota Mekah juga sempat mengeluhkan infrastruktur yang buruk sebagai penyebab terjadinya banjir di Jeddah tahun 2022.
Gambar: Hujan deras yang terjadi di kawasan Masjidil Haram
Banjir ini juga bisa disebabkan karena Arab Saudi tidak memiliki sungai yang mengalirkan air langsung ke laut. Hanya ada oase-oase dimana Arab Saudi bisa memenuhi kebutuhan air penduduknya, selain dari desalinasi air laut.
Dari musibah ini, Sahabat bisa mengambil hikmah dan pelajaran, bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi. Allah mengajarkan kita bagaimana untuk bersikap menjaga rumah suci-Nya. Daripada menghujat takdir, setiap kali terjadi hujan, alangkah baiknya kita memohonkan doa, seperti yang dilakukan Nabi Muhammad saat hujan:
اَللَّهُمَّ صَيِّبًا هَنِيًّا وَسَيِّبًا نَافِعًا
“Ya Allah, jadikan ini hujan hujan yang membawa manfaat.” (H.R. Bukhari)
Itulah sejarah musibah banjir yang pernah terjadi di Ka’bah. Semoga Sahabat dapat mengambil hikmah dan lebih lapang dada dalam menghadapi apapun takdir Allah, termasuk nikmat hujan saat beribadah di Tanah Suci.
Tragedi Duka Terbesar di Terowongan Mina, Ribuan Orang Tewas!
Sudah 32 tahun terlewati sejak tragedi terbesar dalam sejarah terjadi di Mina yaitu pada tahun 1990. Sekitar 1.426 jamaah haji dikabarkan tewas karena kesulitan bernapas dan terinjak-injak di Terowongan Mina.
Mengenal Terowongan Mina di Mekah
Mina terletak di antara Kota Mekah dan Muzdalifah, sekitar 4 km dari Masjidil Haram dan 7 km dari Muzdalifah. Mina merupakan tempat bagi Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih putranya, yaitu Nabi Ismail.
Terowongan Mina atau Terowongan Haratul Lisan merupakan akses pejalan kaki yang membentang di bawah pegunungan bagi para jamaah yang akan melaksanakan lempar jumrah. Terowongan ini dibangun sepanjang 550 meter dengan lebar 18 meter. Dari LA Times, biaya pembangunan Terowongan Mina pada tahun 1988 meraup dana 15 Miliar USD.
Gambar: Pintu keluar Terowongan Mina
Kronologi Tragedi Mina Tahun 1990
Gambar: Koran tahun 1990 yang melaporkan korban tewas di Tragedi Mina
Jika menilik keadaan jamaah haji di tahun 1990, tahun itu merupakan rekor tertinggi jumlah jamaah haji, yaitu sebanyak 81.242 jamaah. Pada tahun 1990, pemerintah Indonesia juga tidak mengatur batasan jumlah jamaah haji yang berangkat ke Tanah Suci, seperti yang tercantum pada Keppres RI no. 6 tahun 1990.
Tragedi Mina tahun 1990 bermula ketika tujuh orang jamaah haji jatuh dari jembatan penyeberangan yang pagarnya rusak. Persis di bawah jembatan tersebut, terdapat Terowongan Mina.
Terjadi kepanikan pada jamaah haji yang berada di dalam terowongan, membuat sebagian besar orang berhenti secara mendadak. Sementara ribuan jamaah tetap berjejalan masuk ke terowongan. Panas ekstrem di luar yang mencapai 44 derajat Celcius. Ventilasi yang buruk di terowongan, serta blower terowongan yang tiba-tiba mati juga semakin memperparah keadaan.
Salah seorang korban selamat asal Sudan, sebagaimana dilansir Tempo dari The Washington Post, mengatakan, “Kami terjebak di dalam, tidak dapat bergerak maju atau pun mundur. Ada petugas yang melemparkan karung berisi air es, lalu kami ambil untuk mengatasi panas dan kehausan. Tidak ada ventilasi dan jumlah jamaah di terowongan terus bertambah setiap detik.”
Akibatnya, sebanyak 1.426 jamaah tewas akibat kehabisan napas dan terinjak-injak di terowongan. Sejauh mata memandang, terlihat banyak jenazah. Ini merupakan tragedi duka terbesar dalam momen haji selama puluhan tahun terakhir.
Gambar: Jenazah korban Tragedi Mina pada 24 September 2015
Pada tanggal 6 Juli 1990, presiden Indonesia saat itu yaitu Soeharto, menetapkan hari berkabung nasional dengan melakukan pengibaran bendera setengah tiang selama sehari penuh.
Renovasi Terowongan Mina di Mekah
Setelah insiden tersebut, Pemerintah Arab Saudi pun memperbesar, memperluas, dan meninggikan terowongan hingga menjadi 40 meter, dengan ventilasi yang besar memanjang di atas. Selain itu, dilakukan pula penambahan jumlah blower yang tergantung di atas terowongan.
Gambar: Terowongan Mina yang sudah direnovasi
Tak hanya itu, pemerintah setempat membangun tempat pelemparan jumrah di Mina dengan empat jalur lalu lintas. Keempat jalur ini dibangun agar para jamaah tidak saling bertabrakan.
Jalur jembatan juga dilengkapi dengan kanopi besar yang berfungsi menutupi pilar dan jamaah dari panasnya suhu di gurun. Jalan ini dibangun berdekatan dengan pilar untuk mempercepat evakuasi jika terjadi keadaan darurat.
Renovasi Terowongan Mina ini dilakukan oleh kontraktor Bin Laden Corporation. Menurut pimpinan proyek, Yahya bin Laden, proyek pembangunan tersebut menelan biaya sekitar 4.2 Miliar Riyal atau sekitar 1.2 Miliar USD.
Gambar: Kontraktor Bin Laden Corporation yang merenovasi pembangunan terowongan dan jalur jembatan di Mina
Sejarah Tragedi Terowongan Mina
Namun, pada tahun 1998, terulang kejadian yang sama. Sekitar 180 jemaah tewas terinjak-injak massa yang panik, setelah beberapa dari mereka jatuh dari jembatan layang saat hendak melakukan ibadah lempar jumrah.
Diikuti pada tahun 2001, aksi saling dorong dan desak-desakkan di Mina menyebabkan 35 jemaah haji meninggal akibat terinjak-injak massa. Tahun 2004, sebanyak 244 jamaah meninggal akibat berdesak-desakkan di Terowongan Mina. Ratusan orang lainnya luka-luka dalam insiden di hari terakhir prosesi haji tersebut.
Dan pada 24 September 2015, terjadi insiden serupa di Terowongan Mina. Dilansir dari situs berita Dawn, kurang lebih ada 2.400 orang terinjak-injak, hingga menewaskan 1.633 orang dan melukai 934 orang, hanya dalam kurun waktu 10 menit.
Penyebabnya sama, terjadi tabrakan antara ribuan jamaah yang bergerak masuk ke terowongan untuk melempar jumrah dengan jamaah yang baru selesai melempar jumrah. Arus masuk dan arus keluar memang tidak seharusnya bercampur.
Penyebab pasti mengapa hal ini bisa terjadi berulang kali masih dipertanyakan, sebab sudah ada petugas keamanan yang ditempatkan di titik-titik rawan untuk mengatur arus jamaah.
Tragedi Mina Tahun 2022
Pada tahun 2022, terjadi lagi insiden kerusakan fasilitas di Terowongan Mina. Pada 10 Juli 2022, terjadi mati lampu di Terowongan Mina, tepatnya di terowongan atas menuju jalur Jamarat lantai tiga.
Media Center Haji (MCH) memperkirakan listrik di Terowongan Mina padam akibat terjadinya arus pendek listrik sejak malam hari sebelumnya. Lampu terowongan memang sudah menunjukan masalah, terkadang mati dan nyala. Untungnya, insiden mati lampu ini tidak mengakibatkan korban luka maupun tewas.
Insiden berulang ini menandakan otoritas Arab Saudi perlu memperhatikan kualitas fasilitas dan pengawasan yang lebih ketat untuk jamaah haji, tak hanya di Terowongan Mina, tapi juga lokasi-lokasi lainnya, seperti Jamarat, tenda-tenda di Arafah dan Mina, dan lain-lain.
Asal-Usul Gelar Haji, Ternyata Taktik Licik & Warisan Belanda!
Jika saat ini gelar haji merupakan gelar yang prestise dan diidam-idamkan setiap orang, ternyata asal-usul gelar haji pertama kali di Indonesia dilatarbelakangi kekhawatiran Belanda terhadap jamaah haji yang membawa pemikiran dan semangat perlawanan pada Belanda.
Ibadah Haji di Indonesia Zaman Penjajahan Belanda
Semula, pemerintah Belanda tidak melihat ibadah haji dari sudut pandang politik, melainkan dari perdagangan yang membawa keuntungan. VOC pun antusias menyediakan kapal-kapal untuk perjalanan ke Jeddah karena Belanda mendapat banyak keuntungan.
Namun, lama kelamaan terjadi banyak gerakan perlawanan dari pribumi, khususnya dari kalangan guru, ulama pesantren, kyai, dan haji.
Gambar: Jamaah haji asal Indonesia tahun 1880
Saat di Tanah Suci, para jamaah haji berkenalan dengan paham Pan-Islamisme. Pan-Islamisme merupakan ideologi politik yang mengajarkan bahwa umat Islam di seluruh dunia harus bersatu untuk dapat terbebas dari penjajahan bangsa Barat.
Menyebarnya paham Pan-Islamisme ini memicu perlawanan dari Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol yang sempat membuat Belanda kewalahan Pemerintah Belanda pun membatasi jumlah umat Islam yang ingin berangkat ke Tanah Suci. Belanda khawatir paham tersebut diterapkan di Indonesia hingga melahirkan perlawanan lebih banyak lagi. Apalagi mereka yang telah haji dianggap sebagai orang suci dan didengarkan masyarakat umum.
Asal-Usul Gelar Haji di Indonesia
Salah satu cara yang dilakukan adalah menaikkan biaya haji. Tapi bukannya berkurang, jumlah umat Islam yang mengajukan paspor haji justru mengalami lonjakan. Bahkan, beberapa ulama yang baru pulang haji turut mendirikan pergerakan, seperti K.H. Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah, K.H. Hasyim Asy’ari yang mendirikan Nahdlatul Ulama, Samanhudi yang mendirikan Sarekat Dagang Islam, dan Tjokroaminoto yang mendirikan Sarekat Islam.
Akhirnya pemerintah Belanda membuat peraturan baru, bahwa setiap orang yang pulang haji diberikan gelar “Haji” agar Belanda lebih mudah mengawasi pergerakan para haji ini. Sehingga ketika ada perlawanan, Belanda tinggal menangkap para haji, menginterogasi, bahkan melakukan suntik mati sebagai hukumannya. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903 dan diterapkan tahun 1916.
Gambar: Koran berbahasa Belanda tentang Ibadah Haji pada tahun 1923
Sejarah Perjalanan Haji di Pulau Onrust
Bahkan untuk menghadapi ancaman perlawanan, Belanda juga melakukan taktik licik. Belanda membangun sebuah pusat karantina dan rumah sakit di pulau terpencil di Kepulauan Seribu, yaitu Pulau Onrust. Tempat ini awalnya digunakan untuk menampung jamaah haji yang diduga tertular wabah pes setelah pulang haji.
Padahal, sebenarnya pulau ini digunakan untuk memerangi pemikiran Pan-Islamisme dengan melakukan brainwash kepada jamaah haji. Belanda menyeleksi mereka yang memiliki pemahaman ekstremis atau radikal yang bisa memicu pemberontakan.
Gambar: Barak Karantina Haji di Pulau Onrust
Nama Onrust sendiri berasal dari bahasa Belanda yang artinya tanpa Istirahat atau sibuk. Sesuai namanya, pulau ini memang terlihat “sibuk” karena merupakan jalur yang dilewati jamaah setelah pulang haji. Pulau ini memiliki 35 barak dan mampu menampung 3500 jamaah haji.
Pulau ini dikelilingi tiga pulau lainnya, yaitu Pulang Bidadari, Pulau Kelor, dan Pulau Cipir. Jika ada jamaah haji yang meninggal saat masa karantina, maka jenazahnya akan langsung dibuang di tengah laut dengan cara jenazah diikat dengan batu agar tidak mengapung dan terlihat di lautan.
Gambar: Bangsal karantina haji di Pulau Cipir
Misi Haji Indonesia Pertama Kali
Haji sendiri memang bisa dianggap sebagai momen khusus untuk melancarkan misi kemerdekaan. Seperti halnya haji pertama setelah kemerdekaan Indonesia, yaitu pada tahun 1948, yang disebut dengan Misi Haji I Republik Indonesia. K.H. Mohammad Adnan yang bertugas sebagai Ketua Misi Haji I mengadakan kontak dengan Raja Arab Saudi, yaitu Ibnu Saud, untuk berunding agar Indonesia mendapat pengakuan kemerdekaan dari Arab Saudi.
Itulah asal-usul gelar haji pertama kali di Indonesia, yang ternyata merupakan warisan kolonialisme dan taktik licik Belanda untuk mengurangi jumlah perlawanan pribumi pada zaman penjajahan.